Gaza, Palestina – 13 Oktober 2025 Gencatan senjata antara Israel dan Hamas di Jalur Gaza memasuki hari ketujuh dengan situasi yang relatif stabil. Ribuan warga Palestina mulai kembali ke wilayah mereka yang hancur, sementara konvoi bantuan kemanusiaan terus mengalir melalui perbatasan Rafah di Mesir. Menurut laporan media internasional, lebih dari enam ratus truk membawa bahan makanan, obat-obatan, serta kebutuhan dasar lainnya telah memasuki Gaza setiap hari sejak kesepakatan gencatan senjata diberlakukan awal Oktober 2025.
Kesepakatan ini juga mencakup pertukaran tahanan antara kedua pihak. Hamas melepaskan empat puluh delapan sandera Israel, sementara pemerintah Israel membebaskan sekitar dua ribu tahanan Palestina, termasuk beberapa yang sebelumnya dijatuhi hukuman seumur hidup. Pertukaran tersebut memunculkan reaksi beragam di kalangan warga Tepi Barat dan Yerusalem Timur, di mana sebagian masyarakat menyambutnya dengan gembira, sementara pihak lain menilai langkah itu hanya bersifat politis dan tidak menyentuh akar konflik yang lebih dalam.
Di tengah ketenangan yang rapuh, dunia bersiap menggelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perdamaian Gaza 2025 di Sharm el-Sheikh, Mesir. Pertemuan tersebut akan dipimpin oleh Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi dan mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. KTT ini diharapkan menjadi tonggak baru menuju peta jalan perdamaian yang mencakup pengaturan keamanan, penarikan militer secara bertahap, serta rekonstruksi besar-besaran di Gaza dengan dukungan finansial dari negara-negara donor.
Indonesia menjadi salah satu negara yang menyatakan kesiapannya untuk berperan aktif dalam proses pemulihan tersebut. Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa Indonesia siap mengirim pasukan penjaga perdamaian di bawah mandat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dalam pernyataannya di Jakarta, Prabowo menilai bahwa stabilitas di Gaza merupakan bagian dari tanggung jawab kemanusiaan global. Selain itu, pemerintah Indonesia juga menawarkan bantuan kemanusiaan tambahan, termasuk kemungkinan menampung sementara anak-anak Palestina yatim piatu dan korban luka akibat perang.
Meski begitu, kondisi di Tepi Barat masih memanas. Pemerintah Israel memperingatkan agar tidak ada perayaan besar atas pembebasan tahanan Palestina, sementara bentrokan kecil antara warga dan pemukim Israel dilaporkan kembali terjadi di beberapa wilayah. Lembaga hak asasi manusia internasional menyerukan agar kedua pihak mematuhi gencatan senjata dan segera memulai negosiasi politik yang berkelanjutan.
Di dalam Gaza sendiri, ketidakpuasan terhadap kepemimpinan Hamas semakin meluas. Sejak Maret 2025, sejumlah protes terjadi di berbagai kota, menuntut transparansi dan reformasi dari kelompok yang telah menguasai wilayah itu selama hampir dua dekade. Beberapa demonstran dilaporkan ditahan oleh aparat keamanan Hamas, sementara organisasi internasional menyoroti meningkatnya pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi di wilayah tersebut.
Konflik berkepanjangan ini kembali menyoroti rapuhnya keseimbangan politik di Timur Tengah. Peran negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Mesir, dan Turki akan sangat menentukan arah perundingan ke depan. Bagi rakyat Palestina, gencatan senjata kali ini menjadi secercah harapan di tengah kehancuran, namun juga mengingatkan mereka bahwa perdamaian sejati masih jauh dari jangkauan. Apa yang terjadi setelah KTT di Mesir nanti akan menjadi penentu apakah Gaza akhirnya bisa keluar dari siklus kekerasan yang tak berkesudahan, atau kembali tenggelam dalam lingkaran konflik yang sama. (Fe)
Source : The Guardian