Dengan mengawali pidato secara khidmat dan penuh semangat, Djarot menyampaikan salam kepada Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, yang turut hadir secara virtual, serta sejumlah tokoh DPP seperti Ribka Tjiptaning, Mindo Sianipar, Wiryanti Sukamdani, Sadarestu, dan Kepala Badan Sejarah DPP, Boni Hargens.
“Tepuk tangan untuk para pejuang yang masih mencintai Indonesia dan berharap bahwa demokrasi bisa menghadirkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat,” ujar Djarot disambut gemuruh tepuk tangan hadirin.
Tragedi Kudatuli, Tonggak Demokrasi Indonesia
Djarot mengingatkan bahwa peristiwa 27 Juli 1996 merupakan titik penting dalam sejarah perjuangan demokrasi Indonesia. Saat itu, kantor DPP PDI yang dipimpin Megawati Soekarnoputri diserbu dengan kekerasan yang mengakibatkan korban jiwa, penghilangan orang, dan penangkapan massal terhadap mereka yang justru menjadi korban.
“Yang diserang menjadi terpidana, yang menyerang bebas merdeka,” tegas Djarot. “Mereka berpesta di atas penderitaan rakyat.”
Ia menilai bahwa tragedi itu menjadi simbol perlawanan wong cilik terhadap represi penguasa. “Partai ini bukan milik borjuis atau kapitalis. Kita adalah partai rakyat kecil. Dan sejarah membuktikan, ketika wong cilik bersatu, mereka tak akan pernah bisa dikalahkan,” tegasnya lagi.
Refleksi dan Kritik Terhadap Kondisi Demokrasi Saat Ini
Dalam pidatonya yang penuh refleksi, Djarot juga menyampaikan kritik keras terhadap kondisi demokrasi dan penegakan hukum saat ini. Ia menilai bahwa demokrasi telah bergeser menjadi alat kekuasaan yang jauh dari cita-cita keadilan sosial. Ia juga menyinggung adanya kriminalisasi terhadap tokoh-tokoh yang kritis terhadap pemerintah, seperti kasus Thomas Lembong dan Hasto Kristiyanto.
“Kasus besar seperti korupsi minyak goreng, pesawat jet, hingga tambang yang merugikan negara, malah lepas begitu saja,” ujar Djarot. “Gajah di pelupuk mata tak tampak, kutu di seberang lautan kelihatan.”
Ia juga mengingatkan kembali pesan Bung Karno tentang pentingnya mawas diri dan menjaga idealisme revolusi, seraya mengajak kader untuk tidak terlena dalam zona nyaman ketika berada dalam kekuasaan.
PDIP Bukan Partai Penguasa, Tapi Partai Perjuangan
Djarot menegaskan bahwa PDI Perjuangan lahir dari rahim penderitaan rakyat. Ia mengingatkan para kader agar tidak menjelma menjadi “mandor kawat”—kerja kendor, makan kuat. “Hati-hati, jangan sampai kita menjadi lupa diri setelah punya kekuasaan. Jangan korup, jangan mengeruk sumber daya alam seenaknya, jangan rusak lingkungan. Itu bukan jalan kita,” ujarnya dengan nada tegas.
Dalam suasana haru, Djarot juga menceritakan kisah heroik Mbak Ning, salah satu pelaku sejarah yang ditangkap saat peristiwa 27 Juli sambil menyusui bayinya. “Kini anaknya yang dulu disusui di penjara sudah jadi anggota DPR. Itu buah dari perjuangan ibunya,” katanya penuh haru.
Peringatan Sebagai Pengingat Sejarah dan Alarm Masa Depan
Djarot menegaskan bahwa peringatan ini bukan sekadar seremoni, tapi bentuk tanggung jawab moral agar bangsa tidak melupakan sejarah kelamnya. Ia meminta agar acara seperti ini dilakukan secara sederhana di masa depan—bahkan bila perlu secara lesehan dengan tikar—agar tetap membumi dan tidak melupakan identitas partai sebagai milik wong cilik.
“Mari kita buktikan bahwa PDIP tetap partai rakyat. Kita menangkan lagi Pemilu 2029. Tapi kemenangan itu harus diraih secara benar dan konstitusional, bukan dengan manipulasi. Demokrasi untuk rakyat, bukan rakyat untuk demokrasi,” pungkas Djarot disambut teriakan: “Merdeka! Merdeka! Merdeka!”
Acara kemudian dilanjutkan dengan diskusi reflektif yang menghadirkan pelaku sejarah, sejarawan, serta kader muda PDIP. Semua yang hadir tampak sepakat: bahwa peristiwa 27 Juli adalah luka sekaligus pelita bagi perjuangan demokrasi Indonesia yang sejati.