Spektrum Id New York, 30 Juli 2025 — Menteri Luar Negeri Inggris, David Lammy, menyampaikan pernyataan tegas dan emosional dalam Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai solusi dua negara bagi konflik Israel-Palestina. Dalam forum diplomatik internasional itu, Lammy menyoroti penderitaan yang terus berlangsung di Gaza, sekaligus menegaskan tanggung jawab historis Inggris dan komitmennya untuk mendukung terbentuknya Negara Palestina yang merdeka.
"Kita berkumpul hari ini di saat yang kelam. 660 hari sejak sandera Israel pertama kali ditahan secara kejam oleh Hamas. Anak-anak kelaparan, bantuan tidak memadai, dan kehancuran di Gaza membuat dunia terpana," ujar Lammy. Ia menggambarkan situasi tersebut sebagai penghinaan terhadap nilai-nilai Piagam PBB.
Lammy menegaskan bahwa Inggris telah mengambil serangkaian langkah konkret dalam merespons krisis, termasuk memulihkan pendanaan untuk UNRWA, menangguhkan ekspor senjata yang dapat digunakan di Gaza, memberikan bantuan kemanusiaan puluhan juta poundsterling, serta menjatuhkan sanksi terhadap menteri-menteri sayap kanan Israel. Ia juga menyebut Inggris telah menangguhkan negosiasi dagang dengan Israel sebagai bentuk tekanan diplomatik.
Meski demikian, Lammy mengakui bahwa semua langkah itu belum cukup. Ia memperingatkan bahwa solusi dua negara kini berada dalam bahaya serius, dan menyerukan refleksi atas sejarah Inggris yang turut membentuk dinamika konflik ini.
Mengutip Deklarasi Balfour tahun 1917, Lammy menegaskan bahwa dukungan Inggris terhadap Israel tidak boleh mengorbankan hak-hak sipil dan agama rakyat Palestina. "Hal itu belum ditegakkan, dan ini adalah ketidakadilan historis yang terus berlangsung hingga hari ini," tegasnya.
Menteri Luar Negeri Inggris tersebut secara gamblang menyatakan bahwa penolakan pemerintah Netanyahu terhadap solusi dua negara adalah kesalahan moral dan strategis. "Tidak ada kontradiksi antara dukungan terhadap keamanan Israel dan dukungan terhadap kenegaraan Palestina," ujarnya. Ia menekankan bahwa Hamas tidak boleh dihadiahi atas aksi terornya, namun juga mengingatkan bahwa Hamas bukan representasi dari seluruh rakyat Palestina.
Dalam pernyataan yang menjadi sorotan utama konferensi, Lammy mengumumkan bahwa Inggris akan mengakui Negara Palestina pada Sidang Umum PBB bulan September mendatang — kecuali pemerintah Israel menunjukkan komitmen nyata untuk mengakhiri kampanye militernya di Gaza dan membuka jalan menuju perdamaian yang berkelanjutan.
“Tidak ada pihak yang akan memiliki hak veto atas pengakuan ini, baik melalui tindakan maupun kelambanan mereka,” tegasnya.
Selain pengakuan politik, Lammy juga menyampaikan langkah-langkah praktis yang sedang dilakukan Inggris, termasuk mengirimkan bantuan kemanusiaan melalui udara bersama Yordania, membawa anak-anak Palestina yang terluka ke rumah sakit di Inggris, dan mendorong dimulainya kembali pengiriman bantuan PBB ke Gaza.
Inggris, menurut Lammy, juga sedang bekerja dengan sekutu internasional dalam menyusun rencana tata kelola dan keamanan jangka panjang di Gaza, guna memastikan gencatan senjata yang langgeng dan dasar yang kuat bagi solusi dua negara.
Menutup pernyataannya, Lammy menggambarkan visi masa depan yang inklusif dan damai: “Warga Israel yang hidup dalam perbatasan yang aman, diakui dan bebas dari ancaman terorisme; dan warga Palestina yang hidup bermartabat dan aman di negara mereka sendiri, bebas dari pendudukan.”
Pernyataan Inggris ini disambut berbagai negara sebagai dorongan baru terhadap realisasi solusi dua negara, di tengah situasi konflik yang kian memburuk dan ketegangan diplomatik yang belum mereda.